Sunday, February 27, 2011

Not a love letter.

Dear heart,
May be you couldn’t forgive me for everything I do.
I frequently hurt you.
I carelessly give you to the wrong person.
Of whom they can’t really understand you.

Dear heart,
You may hate me now.
Of which I am filling you with curse.
I feel you're sickening.
It aches thru my bones.

Dear heart,
What can I do to make you be in love again?

Wana, mari belajar dari Cina :)

Siang itu,  lupa tepatnya tahun berapa, kebetulan saya sedang duduk di depan rumah. Sebuah motor tua sekitar buatan tahun 90an awal parkir didepan rumah kami. Pengemudinya kemudian turun, dia pria tionghoa setengah baya, bercelana pendek, berkemeja sederhana. Dengan senyumnya yang membuat matanya kian sipit, dia memasuki halaman rumah kami. Kemudian dia bertanya kepadaku apakah bapak ada di rumah. Sayapun yang sedang asyik membaca—manampakkan muka agak masam merasa aktivitas saya terganggu- kemudian menyuruhnya untuk duduk menunggu dan kemudian saya masuk untuk memanggil bapak tanpa  berbasa-basi. Bapak pun keluar, dan kemudian terlihat senang melihat “ngkohe” itu datang.

 “Silahkan masuk Koh... aduh adek ini  koh Swi kok nggak dipersilahkan masuk” tegur bapak padaku, sambil memperlakuan penuh hormat dan penuh kerendahan hati.  Hatiku memberontak – bertanya -emang siapa dia sih sampe diistimewain segala paling juga orang mau utang duit,  sebuah asumsi yang beralasan karena waktu itu Bapak masih kepala koperasi.

Akupun kembali duduk di teras sebelah selatan untuk memanjakan diri dengan hobiku yaitu membaca. Kemudian setelah beberapa lamanya orang itu keluar, tanda urusannya sudah usai, aku pura-pura tak melihat supaya tak perlu berdiri berbasa-basi—terlihat bapak mengantar orang itu sampai ke pagar depan dan terlihat masih sangat hormat. Kemudian orang itu pergi dengan motor tuanya tadi dan bapak memutar punggungnya kemabali masuk. Akupun bertanya kepada beliau:
“Itu siapa to Pak? “ kataku ingin tahu
“Itu Koh Swi, yang punya Hotel Beringin itu lho”sambil masuk ke rumah.
Akupun merasa tertampar dan merasa malu pada sikapku sendiri. Aku sudah merendahkan orang lain karena penampilanya. Kalau aku tahu dia orang berada pasti tadi waktu dari awal, aku akan memperlakukannya lebih baik. Namun itu adalah pelajaran berharga bagiku karena sejak saat itu aku banyak belajar dari bapak tentang filosofi yang patut ditiru dari warga keturunan tionghoa



  •   Makin berisi. Makin menunduk.


Pernah seorang warga keturunan tionghoa ke rumah, dia teman bapak bermain bulu tangkis. Datang berjalan kaki dari gedung badminton, duduk di lantai teras depan rumah, mengobrol santai sambil menikmati teh dan singkong yang disuguhkan ibu. Kemudian suatu saat dia datang lagi; kali ini dengan Humvee kesayangannya. Tau siapa dia? Koh Gen. Pemilik tunggal hotel Grand Wahid. Wahid motor, perum wahid, apotek wahid.  Nggak malu tuh jalan kaki sandal jepit walopun udah kaya. Sedang saya aja keluar nggak dandan dan nggak ‘modis’ aja malu—makanwalo uang mepet harus di mall.  Anak itu titipan. Tapi bukan jaminan.


Orang-orang tionghoa menyadari bahwa setiap manusia bunya kelebihan dan batasannya sendiri-sendiri. Begitupun anak-anak mereka, mereka tahu bakat masing-masing, dan tidak memaksakan. Dan mereka nggak gengsi untuk nggak menyekolahkan tinggi-tinggi anaknya kalo memang tidak berbakat di bidang akademis formal. Berbeda dengan orang jawa yang selalu menakut-nakuti anaknya “Yen ra pinter, suk dadi tukang becak” para orang tua Chinese bilang “ora pinter sekolah , kudu pinter bakul” Bukankah ilmu bukan hanya Cuma bisa didapat dari bangku sekolah? Ketika tau anaknya tidak berprestasi di sekolah, para mereka langsung sigap mencarikan anaknya  alternative dimana bakatnya bisa berkembang, banyak anak-anak teman bapak seangkatanku yang sekarang jadi atlit dan ada juga yang dari lulus SMP putus sekolah tapi sekarang udah bisa bikin showroom mobil.  Saya?



  •  Financial freedom, Time freedom, then Mind freedom.


Kalau kebutuhan financial tercukupi, maka kebebasan waktu akan diraih, kemudian kebebasan pikiran dan keinginan akan tercukupi.  Bapak pernah berkata “2 orang sama-sama masuk restaurant, satu orang cina dengan Innova—satu orang jawa dengan Alphard. Percaya atau nggak, lebih kaya si cina” Aku dengan penuh keheranan bertanya ke bapak. Bapakpun menjelaskan prinsip menejemen keuangan orang-orang tionghoa adalah dengan target. KEtika dia punya cukup duit untuk beli mobil berarti dia baru mampu untuk beli motor. Karena mereka tahu bahwa mobil/motor bukan asset karena harganya terus menurun dan membutuhkan biaya perawatan dan bensin. Sisa uang untuk membeli motor adalah cashflow untuk modal usaha dia. Jadi dia punya uang lebih, punya waktu, dan nggak mikir kredit motor, malah dapet pemasukan. Berbeda dengan orang jawa kebanyakan, punya duit 50 juta aja udah berani nyicil mobil, rela waktunya terbuang karena financial freedomnya terbuang karena harus mikir(mind freedom) gimana bayar kredit mobil untuk bulan depan. Cuma buat satu : gengsi. Mau bayar parkir aja pelit, apalagi kalo bensin naik langsung panik--- akhirnya mobilnya malah jarang-jarang dipake, pas ada kebutuhan  medadak lain terpaksa mobil dijual rugi. See? Jarang make, harus dijual rugi lagi. So berapa kira-kira saldo orang tionghoa yang pake innova? 2 M 



  •  Disiplin


Selain disiplin waktu, mereka sangat disiplin masalah keuangan juga. Nggak kaget kalau Bank-Bank dengan mudahnya melancarakan kredit dan B/G bahkan justru mereka yang member penawaran, sedang orang-rang jawa mau kredit aja disurvey macem-macem dan bahkan sering ditolak. Parapan jawa CINO “Rinciane ono” memang dilihat negative oleh masyarakat jawa yang menyepelekan menejemen finansialnya. Walaupun terlihat pelit dan kikrik, bisa ditebak kenapa PRT/pramuniaga jawa itu nggak kapok bahkan betah kerja pada mereka—karena mereka juga sangat disiplin dalam menggaji pegawainya dan nggak pernah curang. Bahkan kalo kariawanny sudah loyal mereka lebih “lomo” daripada orang jawa. Kalau kita ke took merekapun mereka bakal bilang kalo barangnya jelek kalau memang jelek. Padahal kadang kita berbelas kasihan pada pribumi yang menjual buah di pasar tradisional, bilang manis padahal sampai rumah yang lainya asem. Prinsip kejujuran dan disiplin ini yang membuat para cina keturunan berhasil di bidang ekonomi.

  •        Loyal


Bertentangan dengan pemikiran orang kebanyakan, mereka justru loyal atas segala hal yang bermanfaat untuk kepentingan bersama. Sumbangan perbaikan jalan/masjid swadana  --pun terbesar datang dari cina keturunan. Bahkan ketika bapak masih menjadi kontraktor. Ada sebuah bangunan yang ada musholanya yang dibeli oleh seorang Cina, alih-alih disuruh merubuhkan, dia justru meminta musholanya ikut diperbaiki dengan kocek pribadinya.  Pengalaman saya sendiripun dibantu oleh cina pemilik Mamoth Fotografi sewaktu akan menghadiri acara kebudayaan Internasional, bahkan dia membebaskan kami dari biaya sewa karena untuk kepentingan kebudayaan padahal biasanya di charged ratusan ribu per-baju. Karena mereka percaya membantu orang itu bawa hoki.

Ironis memang, kita beribadah 5 waktu sehari –namun sifat-sifat utama ajaran Islam seperti jujur, disiplin, tidak curang dalam berdagang, rendah hati, tidak berlebihan, sederhana, dermawan, toleran—justru diterapkan oleh umat agama lain. Saya malu karena belum mampu begitu, anda? :)

I was starstruck!


Gue ketemu dia pertama di sebuah kelas Bahasa Prancis beberapa semester lalu, sebut saja namanya Diaz. Diaz itu model majalah ibu kota, selain juga model catwalk buat peragaan busana, so otomatislah bisa ditebak: ganteng, bodynya oke punya—and not not to mention otot trisep bisepnya yang bersaing keluar dari kaos putih Guardianonya .  Kalo masih nggak bisa bayangin juga, yah 11-12 sama Vino G. Bastian lah dari badan n muka. Serius!
Seperti cewek normal kebanyakan sudah selayaknya secara teori gue tertarik sama penampilan dia, maskulin, rapi, wangi nyaa*sniff.. sniff I smell of Aqua Di Gio*--meleleh dah . Apalagi prestasinya di bidang pendidikan nggak bisa diremehin juga, Englishnya juga fasih banget secara dari kecil tinggal ma ortunya yang kuliah di luar negeri. Ganteng, macho, pinter, dating dari keluarga akademik—every girl’s dream comes true lah pokoknya.

Tapi gue sadar siapa gue, we live in a very different world, so pesonanya yang menyilaukan berkali-kali gue tampik dengan tameng prinsip, bahwa:  “Model itu milik publik, punya pacar populer pasti bakal bikin lo heartbreaking eventually—so don’t even think about it”.  Mencoba tetep realistis dengan falsafah hidup gue yang flat---- lulus, kerja, menikah, punya anak, mati, masuk surge--- and well maybe a lil boring, simple tapi jauh dari gemerlapya dunia. Tapi justru, mungkin perilaku gue yang cuek dan gesture gue yang seakan bilang “you’re not my type” itu yang malah bikin dia seperti sengaja menyerang pertahanan gue. Entah dengan selalu duduk dideket gue, menyiksa gue dengan senyum ala Josh Harnet, ke-charming-annya dalam setiap bicara dengan menambahkan kata “dear dan darl” ditiap kalimat. Seperti contohnya:

“Gue pinjem catetan lo dong, dear”
“Darl, nanti berangkata Francais yaa”


                Dear-dear-darling-darling-Modaro ra eling! Damn! Lama-lama pertahanan gue bisa bubrah kalo gini caranya! Knock knock! Hey, di depan gue ada cowok- physically perfect—academically achieved—dan EXIST! Gue udah berusaha nggak geer dengan sms-sms ucapan selamat paginya—(dengan templates wajib dear dan darlnya tadi). Berusaha duduk jauhan di kelas, cuek, pulang cepet, eh masih juga dikejar sampe ke parkiran---( yang mana bikin gue nahan diri biar nggak keliatan bego gemeteran saking senengny)a. Gue juga udah berusaha nyari-nyari bukti bahwa dia juga ngegombal gitu ke semua cewek, tapi gagal!  He ‘kinda’ made me special, and it killed me miserably!  Dan bahkan curhat ke sahabat-sahabat gue pun  justru blunder bagi diri gue sendiri, secara mereka udah ngefans abis samma tu cowok dari lama dan malah ngedukung dia abis-abis. Habislah gue!

Dan, akhirnya gue mulai membuka diri, saling menyemangati, memberi dorongan sama dia yang bakal berkompetisi di ajang internasional. Walopun karena itu gue sempet minder juga, siapa gue???  Cantik?  realtif. Sexy ?*krik krik*. Pinter ?so-so lah. Fashionable? Meh!  Tapi semua ketakuatan atas ketimpangan  itu terbayarkan ketika mendapat  apresiasi seperti perasaan merasa dibutuhkan, merasa bisa memotivasi orang laen.  Kelamaan dia jadi mule sering terbuka dan curhat masalah kuliahnya, keluarganya, karirnya,  awalnya sih gue merasa special bisa ngliat sisi labil dari seseorang yang diluar tampak percaya diri dan kuat kuat.
 Suatu hari ada kejadian yang bikin gue jengah,  tengah malem tiba-tiba Diaz nelfon gue sambil nangis-nangis--gara-gara bikin kesalahan fatal pas jadi MC sebuah event nasiona l[yang ditayangin di tipi dan gue cuma bisa liat dari rumah]—emang fatal banget sih secara dia lupa manggil salah satu kontestan ke panggung. Dan, gue secara- PRO BONO- comforted dia ampe pagi—nge-“cup-cup” biar nggak down lagi padahal –sumpah yaaaa-- gue ngantuk banget. EXACTLY! Gue ngerasa selama ini jadi emaknya daripada ‘darling’nya. Yap EMAKNYA! Secara yaa kakak juga bukan, pacar juga cuma impian gue doang. Tapi gue pikir, biarlaaah, namanya juga usaha cyyn. Mungkin dia baru nemuin seseorang yang bisa membuat dia nyaman di gue, dan bukanya cinta itu butuh pengorbanan? Tsaaah.

  Paginya, ketika gue bangun, sebuah sms udah masuk ke inbox gue, dengan mata yang masih mengantuk gue baca pesan yang isinya:

“Thanks ya dear, kamu selalu ada buatku thru my darkest hour. Menerimaku dengan apa adanya tanpa men-judge segala kekuranganku.  Aku tau kalo kamu sebenernya udah tau kalo aku gay, tapi tetep menerimaku. Thanks for that, I am proud to who I am. You’re the best  *smooch*”

Gue berharap gue nggak pernah bangun tidur pagi itu atau itu semua cuma mimpi. But well that’s life – sometimes it’s  a series of unfortunate event.  Thanks Diaz, you made me learned a thing well:  You don’t fall in love with a person with Giordano t-shirt.  Ever!

Friday, January 28, 2011

The (anti-) Social Media? (part I)


Some people might be—or it’s just me-- fed up with Facebook, as it gives much trouble in life unexpectedly. It is likely overwhelming to see people update their what–so-called-important-status of “Binun apdet status apahh” –and hoping their status to be liked—(and for God sake someone really hits the LIKE button). Givin' me more stressful day when a friend tagging ugly faces of us and even pinning our name to a photo that we have no idea with. Ecstatically, we’d love to see notifications poop us in the home page –and voila!--here we are “the-who-the-hell-are-you –times 22. commented a photo of you. Well there are may be a lil improvement since FB finally parallelizing the notifs to sum up the amount. But still, it bugs me. Okay if you got no prob with that, hear this out.

Relationship status? Surprise! Another crisis emerges. As we can’t count people judge someone’s status by their “in relationship” label in facebook—wild guessing “oh, there’s no relationship status—okay I’ll advance her” the heat is unbearable. “Wow single—I might got a opportunity” In fact, some friends of mine propose “single” as their life vision and marriage is so out of option. Single does not always mean available. May be some people are comfortable to reveal their personal information, who knows? It’s complicated? “Wow—did someone’s just had a fight—will they reconcile?” Trespassing into someone’s life is now really a pop culture, hitherto. Thanks to Mark Zuckerberg, who may be a stranger to the extent of: “privacy is classy.”  Facebook glorious vision is a networking a social web is truly peace of crap. In fact, from 800 old acquaintances I just connect frequently with less than 20% people in my friendlists. And I really loathe facebook chat application with all the devils in me— as it causes misunderstanding with my friends I try to work it. “Eh tak chat kok diem aja” “hah? Yang mana?” sounds familiar?

    Ok personally, I don’t really have a problem with that—I am a people person—outgoing—I don’t mind with the idea of exchanging personal information. The nuisance thing is--- bigotry really pisses me off. Not that I am anti-God or something, the idea of measuring someone’s faith with “THEIR OWN BELIEF and degree of FAITH” by commenting on someone’s status is truly unbearably invading my space.  Truth is if they really are  God’s person(or task force---?), why bother wasting their time to policing other person – even may be the angels who are noting my ‘status’ pissed of someone’s hijacking their workloads!
         Why am I complaining? ‘Just go deactivate your account—go check your privacy botton.’ I know such assumption might sparks out while you reading this. My answer is: I did deactivate.  Except things I wrote above, some people really need to see my account to check that whether I 'd died or not. No hard feeling, but I’m still alive, bitches!

Thursday, December 9, 2010

Spotify Playlists - Share Your Love Of Music