Sunday, February 27, 2011

I was starstruck!


Gue ketemu dia pertama di sebuah kelas Bahasa Prancis beberapa semester lalu, sebut saja namanya Diaz. Diaz itu model majalah ibu kota, selain juga model catwalk buat peragaan busana, so otomatislah bisa ditebak: ganteng, bodynya oke punya—and not not to mention otot trisep bisepnya yang bersaing keluar dari kaos putih Guardianonya .  Kalo masih nggak bisa bayangin juga, yah 11-12 sama Vino G. Bastian lah dari badan n muka. Serius!
Seperti cewek normal kebanyakan sudah selayaknya secara teori gue tertarik sama penampilan dia, maskulin, rapi, wangi nyaa*sniff.. sniff I smell of Aqua Di Gio*--meleleh dah . Apalagi prestasinya di bidang pendidikan nggak bisa diremehin juga, Englishnya juga fasih banget secara dari kecil tinggal ma ortunya yang kuliah di luar negeri. Ganteng, macho, pinter, dating dari keluarga akademik—every girl’s dream comes true lah pokoknya.

Tapi gue sadar siapa gue, we live in a very different world, so pesonanya yang menyilaukan berkali-kali gue tampik dengan tameng prinsip, bahwa:  “Model itu milik publik, punya pacar populer pasti bakal bikin lo heartbreaking eventually—so don’t even think about it”.  Mencoba tetep realistis dengan falsafah hidup gue yang flat---- lulus, kerja, menikah, punya anak, mati, masuk surge--- and well maybe a lil boring, simple tapi jauh dari gemerlapya dunia. Tapi justru, mungkin perilaku gue yang cuek dan gesture gue yang seakan bilang “you’re not my type” itu yang malah bikin dia seperti sengaja menyerang pertahanan gue. Entah dengan selalu duduk dideket gue, menyiksa gue dengan senyum ala Josh Harnet, ke-charming-annya dalam setiap bicara dengan menambahkan kata “dear dan darl” ditiap kalimat. Seperti contohnya:

“Gue pinjem catetan lo dong, dear”
“Darl, nanti berangkata Francais yaa”


                Dear-dear-darling-darling-Modaro ra eling! Damn! Lama-lama pertahanan gue bisa bubrah kalo gini caranya! Knock knock! Hey, di depan gue ada cowok- physically perfect—academically achieved—dan EXIST! Gue udah berusaha nggak geer dengan sms-sms ucapan selamat paginya—(dengan templates wajib dear dan darlnya tadi). Berusaha duduk jauhan di kelas, cuek, pulang cepet, eh masih juga dikejar sampe ke parkiran---( yang mana bikin gue nahan diri biar nggak keliatan bego gemeteran saking senengny)a. Gue juga udah berusaha nyari-nyari bukti bahwa dia juga ngegombal gitu ke semua cewek, tapi gagal!  He ‘kinda’ made me special, and it killed me miserably!  Dan bahkan curhat ke sahabat-sahabat gue pun  justru blunder bagi diri gue sendiri, secara mereka udah ngefans abis samma tu cowok dari lama dan malah ngedukung dia abis-abis. Habislah gue!

Dan, akhirnya gue mulai membuka diri, saling menyemangati, memberi dorongan sama dia yang bakal berkompetisi di ajang internasional. Walopun karena itu gue sempet minder juga, siapa gue???  Cantik?  realtif. Sexy ?*krik krik*. Pinter ?so-so lah. Fashionable? Meh!  Tapi semua ketakuatan atas ketimpangan  itu terbayarkan ketika mendapat  apresiasi seperti perasaan merasa dibutuhkan, merasa bisa memotivasi orang laen.  Kelamaan dia jadi mule sering terbuka dan curhat masalah kuliahnya, keluarganya, karirnya,  awalnya sih gue merasa special bisa ngliat sisi labil dari seseorang yang diluar tampak percaya diri dan kuat kuat.
 Suatu hari ada kejadian yang bikin gue jengah,  tengah malem tiba-tiba Diaz nelfon gue sambil nangis-nangis--gara-gara bikin kesalahan fatal pas jadi MC sebuah event nasiona l[yang ditayangin di tipi dan gue cuma bisa liat dari rumah]—emang fatal banget sih secara dia lupa manggil salah satu kontestan ke panggung. Dan, gue secara- PRO BONO- comforted dia ampe pagi—nge-“cup-cup” biar nggak down lagi padahal –sumpah yaaaa-- gue ngantuk banget. EXACTLY! Gue ngerasa selama ini jadi emaknya daripada ‘darling’nya. Yap EMAKNYA! Secara yaa kakak juga bukan, pacar juga cuma impian gue doang. Tapi gue pikir, biarlaaah, namanya juga usaha cyyn. Mungkin dia baru nemuin seseorang yang bisa membuat dia nyaman di gue, dan bukanya cinta itu butuh pengorbanan? Tsaaah.

  Paginya, ketika gue bangun, sebuah sms udah masuk ke inbox gue, dengan mata yang masih mengantuk gue baca pesan yang isinya:

“Thanks ya dear, kamu selalu ada buatku thru my darkest hour. Menerimaku dengan apa adanya tanpa men-judge segala kekuranganku.  Aku tau kalo kamu sebenernya udah tau kalo aku gay, tapi tetep menerimaku. Thanks for that, I am proud to who I am. You’re the best  *smooch*”

Gue berharap gue nggak pernah bangun tidur pagi itu atau itu semua cuma mimpi. But well that’s life – sometimes it’s  a series of unfortunate event.  Thanks Diaz, you made me learned a thing well:  You don’t fall in love with a person with Giordano t-shirt.  Ever!

No comments:

Post a Comment